Seperti
biasanya, sepulang dari sekolah, Bela mengajak beberapa temannya untuk
mampir ke rumahnya. Mereka pun langsung masuk ke dalam kamar Bella tanpa
menemui Ayah Bela yang sedang terbaring lemas di ranjang. Lalu, Bella
memilih kaset dan memasukkannya ke
dalam
tape radio serta menyetelnya dengan suara yang cukup keras. Mereka
sangat menikmati musik tersebut tanpa mempedulikan ayah Bella yang
sedang sakit. Karena tak tahan dengan kelakuan Bella dan teman-temanya,
Ganis, kakak Bella pun keluar dari kamar ayahnya dan menuju ke kamar
adiknya itu. Pintu kamar yang tak terkunci itu pun langsung didorongnya
dengan wajah kesal.
“Bella!!
Kecilin suara musiknya dong!! Ayah kan lagi sakit! Sudah pulang enggak
salaman dulu sama ayah, sekarang kamu malah buat kegaduhan!”, bentak
Ganis.
"Dia itu
bukan ayah kita, kak! Lagi pula, dia aja enggak protes, kok malah kakak
sich yang protes!?”, sahut Bella melawan bentakan Ganis.
"Kakak tahu!
Dia memang bukan ayah kandung kita, tapi dia sudah lama tinggal sama
kita dan berusaha untuk menjadi ayah tiri yang baik. Jadi, kamu harus
menghormati dia juga dong Bel!!", kata Ganis menasehati adiknya.
"Ayah kamu
lagi sakit, Bel? Pantasan, tadi dia enggak ngajar matematika. Kok, kamu
enggak bilang sich Bel?! Kita jenguk ayah kamu aja yuk!?", sela seorang
teman Bella.
"Jenguk aja sendiri!!", tolak Bella langsung mengusir teman-temannya dan mengunci rapat pintu kamarnya.
"Bella!! Kamu kok gitu sich!? Jangan egois dong!!", tambah teman Bella yang lainnya.
"Biarin aja! Udah sana, kalian jenguk aja tuh guru kesayangan kalian! Aku mau sendirian aja di kamar!!", bentak Bella.
Tak
terdengar balasan dari balik pintu kamar Bella yang terkunci. Ganis
beserta teman-teman Bella pun berjalan menuju kamar ayah tanpa
mempedulikan Bella.
Pukul 20.00
WIB, waktunya makan malam bersama di rumah Bella. Namun, Bella enggan
keluar dari kamarnya. Sudang dipanggil berkali-kali, ia tetap saja
mengurung diri di kamarnya. Ini memang sudah menjadi kejadian yang
lumrah di rumah Bella. Semenjak ayah kandungnya meninggal meninggal
dunia dan digantikan oleh ayah tirinya dua tahun yang lalu, sikap dan
sifat Bella menjadi berubah. Ia tak mau mengganggap ayah tirinya sebagai
ayah, apalagi untuk memanggil "Ayah", terasa ada sesuatu yang
mengganjal di tenggorokannya. Padahal, ayah tirinya bukan monster
seperti yang ada di televisi-televisi. Ayah tirinya termasuk orang yang
baik dan sabar dalam menghadapi tingkah laku Bella.
"Kok, enggak dimakan Yah?”, tanya Ganis yang mendapati ayahnya sedang termenung meratapi makanan yang ada di piring.
"Ayah mau
nunggu Bella, Nis", jawab ayah dengan suara parau. “Bella enggak akan
keluar Yah! Udah, ayah makan duluan aja ya?! Nanti, kalau dia udah mulai
kelaparan juga keluar sendiri”.
“Iya, ayah makan aja duluan. Biar cepat sembuh. Nanti, makanan Bella biar bunda yang antar ke kamarnya”, tambah bunda.
Mereka pun melahap santapan makan malam tanpa kehadiran Bella. Seusai makan malam, bunda mengantar makanan ke kamar Bella.
“Bella . . .
ini bunda antarkan makan malam kamu. Kamu pasti sudah laparkan?”. Tak
terdengar sedikit jawabanpun dari mulut Bella.
Aku
ambil makanannya enggak ya?? Malas akh!! Nanti aku ambil sendiri aja di
ruang makan. Pokoknya, kalau aku lagi marah, enggak boleh
tanggung-tanggung, harus seharian. Kalau perlu sampai besok! Biar om-om
itu nyadar, kalau kehadirannya di sini cuma ngerepotin keluarga aku.
“Bella!?”, seru bunda.
“Aku udah kenyang bun! Aku enggak mau makan!”.
“Ya sudah”, sahut bunda singkat.
Sekitar
tengah malam, perut Bella mulai keroncongan. Bella pun mengendap-endap
keluar dari kamarnya menuju ke ruang makan. Dibukanya tudung saji yang
tertutup rapi, namun hanya terdapat nasi dan telur dadar.
“Lauknya kok
cuma telur dadar sich? Bunda enggak masak atau lauk yang lainnya udah
pada habis . . .?!”, tanya Bella pada dirinya sendiri.
“Kamu lapar
juga, Bel!?”, kaget bunda dari belakang. “Udah enggak!! Habis, lauknya
cuma telur dadar sich!!”. “Bunda tadi enggak sempat masak, Bel. Soalnya,
bunda harus jagain ayah kamu. Tadi, suhu tubuhnya tinggi lagi. Lagi
pula, uang bunda sudah tinggal sedikit”, ujar bunda.
“Dia
lagi-dia lagi!! Heran ya, kok pada ngebelain dia semua sich?! Dipelet
kali ya!!?? Lagian, sakit-sakitan terus sich!! Jadinya ngabisin uang
bunda dech! Kalau jadi guru honorer tuh, harus rajin ngajar! Jangan
tiduran mulu!!”, ejek Bella.
“Bella!! Kalau ngomong tuh dipikir-pikir dulu ya!? Jangan asal nyeplos aja!!”, bentak bunda.
Bella pun
berlari meninggalkan bundanya menuju kamar dan membanting pintu kamarnya
dengan sekuat tenaga. Bunda sudah tidak tahu harus bagaimana lagi
menasehati putri bungsunya itu. Seisi rumahpun terkejut mendengarnya.
Ganis langsung keluar dari kamar dan menghampiri bunda. Bunda menangis
dalam dekapan Ganis.
“Udah, bunda
jangan nagis lagi ya . . . ?! Bunda kan tahu sendiri bagaimana sikap
Bella sekarang ini. Dia udah enggak seramah dulu lagi. Berubah drastis
bun . . .”, kata Ganis.
Bunda melepas dekapan itu. “Ya sudah, bunda mau mengecek kondisi ayah kamu lagi ya . . .?!”.
"Iya"
Kemudian, bunda dan Ganis pun kembali ke kamarnya masing-masing.
“Bella
marah-marah lagi ya, Bun? Pasti gara-gara ayah. Saya memang bukan ayah
yang baik buat Bella. Saya sudah merepotkan kamu. Besok, saya akan
mengajar lagi. Saya tidak mau kalau gaji kamu habis untuk membeli obat
saya”, kata ayah dengan suara pelan.
“Ayah enggak
boleh bilang kayak gitu. Lebih baik ayah istirahat dulu, mengajarnya
cuti saja”. “Besok saya tetap akan mengajar”, kata ayah mantap.
Tiga hari
sudah, ayah tidak mengajar matematika di SMU di mana Bella bersekolah.
Setelah kejadian semalam, ayah pun memaksakan diri untuk pergi mengajar,
walau kondisi kesehatannya belum pulih benar, saat mengajar di kelas
Bella, Bella menunjukkan paras yang tidak senang atas kehadiran ayah
tirinya itu. Bella memang tak pernah memperhatikan ayahnya ketika
menjelaskan pelajaran. Sepulang sekolah, Bella mencoba menyetir mobil
milik temannya di jalan yang cukup sepi. Kerena belum terbiasa menyetir
mobil, pandangan mata Bella kurang fokus ke depan. Tiba-tiba ada seorang
bapak sedang melintas menggunakan sepeda motor butut. Bella yang
menyetir sambil berbicang-bincang dengan teman-temannya itu, tiba-tiba
hilang kendali dan akhirnya,
PLASH.....
sepeda motor itu ditabraknya. Bella dan teman-teman pun keluar dari
dalam mobil. Mulut Bella bagai gawang yang kebobolan bola. Ia terkejut,
ternyata orang yang ditabraknya tak lain adalah ayah tirinya sendiri.
Bella panik bukan main dan langsung melarikan diri.
"Bella!! Dia ayah kamu! Kamu harus bawa dia ke rumah sakit, Bel!!”, teriak salah seorang teman Bella.
“Aku takut!! Nanti kalau aku ditangkap polisi gimana?!”.
“Bel, kamu
harus tanggung jawab dong! Dia itu ayah kamu, Bel!! Kamu enggak akan
ditangkap polisi kalau kamu bawa dia ke rumah sakit!”.
“Dia bukan ayah aku!! Aku enggak mau bawa dia ke rumah sakit!”, tolak Bella.
“Dia emang
bukan ayah kandung kamu! Tapi dia tetap ayah yang harus kamu sayangi,
Bel . . . Dia mungkin juga bukan ayah yang terbaik bagi kamu, pti dia
udah berusaha untuk menjadi yang terbaik buat kamu dan keluarga kamu!
Kami ngeliat ketulusan dari mata dia kok, Bel! Kalau beliau itu sayang
sama kamu. Dia ayah kamu! Dan dia juga guru kita! Kalau dia enggak
tertolong lagi, kita enggak bisa ngerasain enaknya belajar matematika
lagi, Bel! Sadar dong Bel!!”, nasehat temannya.
Mendengar
nasehat temannya itu, hati Bella luluh. Di lubuk hatinya yang terdalam,
di memori pikirannya yang jauh, Bella memikirkan kebaikan ayah tirinya
itu. Dari kesabarannya, kebaikannya, keikhlasannya, dan ketabahannya
dalam menghadapi Bella. Dengan cpat, Bella dan teman-temannya membawa
ayah ke rumah sakit terdekat. Bella langsung menghubungi bunda dan
kakaknya. Bunda, Bella, Ganis, dan teman-teman Bella khawatir dengan
keadaan pasien itu. Dokter pun langsung menangani ayah dengan serius.
Beberapa jam kemudian, dokter keluar dari ruangan untuk memberitahu
keadaan ayah. Dan ayah pun sudah tersadar. Mereka semua masuk ke dalam
ruangan untuk menjenguk ayah. Bella berlari dan memeluk hangat tubuh
ringkih ayahnya seraya meneteskan air mata yang sempat tertahan di bola
mata indahnya.
“Maafin Bella ya, Yah!? Bella enggak sengaja nabrak ayah”, jujur Bella.
Bellla yang
awalnya tidak mau bercerita dengan keluarganya, akhirnya menceritakan
kejadian yang sebenarnya. Awalnya, bunda ingin mengusir Bella, namun
ayah mencegahnya.
“Bel, ayah
senang . . . kamu sudah bisa panggil saya ayah. Ayah ikhlas ditabrak
kamu, asalkan akhirnya kamu bisa menerima dan panggil saya dengan
sebutan ayah”. Sebegitu besarnya pengharapan ayah kepadaku!? Aku emang jahat banget ya!? kata Bella dalam lubuk hatinya.
“Ayah harus lekas sembuh, ya!? Biar bisa ngajar matematika lagi”.
“Iya, nak . . .”.
Bella
seperti tak ingin lepas dari pelukan ayahnya itu,. Bunda dan Ganis pun
memeluk ayah dan Bella. Tak lama berpelukan, Bella pun melepaskan diri
dari dekapan keluarganya itu.
“Bella
janji, Bella akan panggil ayah sekarang dan sampai kapan pun juga. Aku
udah lama enggak ngucapin kata ayah. Aku kangen sama sosok seorang ayah.
Maafin Bella ya, Yah!?”.
“Kamu enggak
perlu minta maaf. Ayah sayang sama kalian. Ayah akan berusaha untuk
menjadi seorang ayah yang terbaik buat keluarga ini, khususnya untuk
kamu dan kakak kamu. Walau mungkin, ayah enggak akan pernah bisa untuk
menggantikan ayah kandung kalian”. Bella dan Ganis menjabat erat tangan
ayahnya.
“Bella sayang sama ayah. Maafin Bella, Yah!?”, ucap Bella sekali lagi.
“Kami juga sayang sama pak guru!! Hehehehehe . . .”, tambah teman-teman Bella.
Ayah dan
bunda hanya tersenyum lega. Akhirnya, Bella tersadar juga, bahwa betapa
sabarnya sang ayah untuk menantinya menyambut ayah tirinya. Sekarang dan
seterusnya, Bella akan memanggil “ayah” kepada ayah tirinya dan hidup
bahagia bersama keluarganya. Wala memang, ayah itu bukan ayah
kandungnya.
“Sekali lagi, maafin Bella, Yah!?!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar